www.goodnewsfromindonesia.id
Sumber Gambar Ilustrasi: goodnewsfromindonesia
Hakikat,

Suatu waktu di malam Sabtu, di halaman kantor Kelurahan Anu. Diselenggarakanlah pentas wayang kulit dengan dalang top markotop paling tenar se-kabupaten. Meskipun cuma acara setingkat kelurahan, tapi kualitas sajiannya tingkat nasional, maklumlah, di propinsi ini acara semacam ini selalu istimewa. Daerahnya istimewa, seninya istimewa, proposalnya juga dari dana istimewa.

Dengan pengunjung padat yang suk-suk an. Sang dalang mementasakan lakon favorit masyarakat. adegan klimaks dari perang bharatayuda di kurusetra. Pertempuran antara Pandawa dan Kurawa hendak dimulai, rembug menjelang perang telah diputuskan. Jadilah Krisna seorang sais kuda bagi Arjuna. 

Para tentara sudah saling berhadapan, tinggal menanti aba-aba, pertumpahan darah terjadi. Inilah adegan yang menjadi inti dari Bhagavad Gita, sesaat sebelum perang, ketika muncul kebimbangan pada Arjuna dalam menghadapi peperangan. Adegan ini dimulai dengan monolong keengganannya membunuh saudara sendiri, ketakutannya akan akibat dari peperangan yang hanya menyisakan kerusakan.

"Aku harus bertapa dan memusatkan heningku, demi mencari hakikat dari seluruh kejadian sia-sia ini. Demi mengetahui inti tugas dari seluruh manusia. Mana mungkin yang maha penyayang mrnghendaki perang. Seharusnya ada jalan yang lebih elegan dan ciamik selain berperang, contohnya ada perwakilan Yang Kuasa untuk melerai atau apalah. Mosok saya yang ganteng dan baik hati harus membunuh saudara sendiri".

Walhasil bertapalah Arjuna. 

Gamelan hening, dalang hening, sinden nyelani minum teh, penonton menanti-nanti. Sepuluh menit tanpa ada suara, kecuali dengkuran panabuh gong.

Lalu tiba-tiba seng-seng bergetar, lampu blencong mobat-mabit, bumi berdentam kemudian bergoyang. Gempa bumi terjadi. Penonton kalang kabut, sinden nyincing jarik sambil meminum cepat-cepat teh di depannya, pemukul gong masih lelap, tapi anehnya sang dalang tak beranjak. Sang dalang mengalami ekstase, matanya memutih seperti kesurupan.

Dalam kegaduhan itu tiba-tiba terdengar suara:

"Woy-woy lerenono No Arjuno, matane deloken kae penonton pergi bubar semua".

Ternyata lakon Krisna datang menghampiri pertapaan Arjuna. Karena tak bergeming, Krisna ngeplak kepala Arjuna.

"Plok, plok". Disertai suara gong, penabuh sudah terbangun.

"Kowe ki ngapain, topomu bikin gaduh bumi dan langit!"

"Maap Sri Kresna, hamba sedang mencari hakikat. Mencari keaslian di balik sandiwara ini. Mencari alasan yang tepat untuk mencegah perang yang tak sesuai dengan pri kemanusiaan dan pri keadilan, seperti yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945".

"Haisah, ga usah cari tahu tentang hakikat-hakikatan, merusak tatanan."

"Tapi hamba butuh tahu, demi mencairkan ganjalan di hati dan pikiran."

"Hakikat itu bukan konsumsi publik, tidak bisa dibicarakan di depan umum. Itu pengetahuan untuk orang khusus. Kamu lihat acara televisi, adanya masak-memasak, nyanyi dangdut, gossip. Tak ada yang bicara hakikat. Manusia-manusia yang kumpul dalam kerumunan selalu isinya omong kosong. Coba saja sampaikan kebenaran atau kenyataan, bahkan pengajian saja kalau untuk umum harus lucu, gak ada hakikat-hakikatnya blas."

"Tapi hamba harus tahu"

"Halah, yowis, tak kandani. Tapi jangan menyesal."

"Njih."

"Hakikat dirimu itu sebenarnya hanyalah kulit sapi. Kamu itu tidak ada pikiran, tak bisa berbuat, tak berdaya apapun. Kamu bisa berdiri karena tumancep di pohon pisang. Kamu bisa tegak karena dicagak kayu. Kamu itu tidak usah sok bijak sok baik. Moral tidak berarti bagi kulit sapi macam kamu. Kita ini sepenuhnya digerakkan dalang. Sikapmu, inginmu, tujuan dan hasil semuanya sekarepe dalang. Kamu mau jadi baik, dalang gak rugi. Kamu mau jadi penjahat kelamin, dalang ra kurang kuosone. Saya itu ya kamu, kamu itu ya saya, kita semua ini dalang, dalang ya jadinya kita ini. Paham son?"

"Waduh, mumet kulo. Dadine percuma dong kita perang. Toh kalah menang sudah jadi keputusan dalang. Bahkan sebelum kita dipentaskan. Kalau begitu saya tak undur diri saja, tak rausah ngapa-ngapain."

"Yo raiso to."

"Hla kok ngoten?"

"Lihat penonton itu, pada bingung. Kalau kita tidak berbuat sesuatu di pentas ini terus mau ngapain. Sudah jangan bahas hakikat lagi, sekarang wayahe perang ndang numpak jaran, aku sing nyopir. Peranmu begitu ya sudah jalani saja."

"Njih"

"Wis siap rung?"

"Sampun".

"Yowis yo, hyak hyak jak jak, jaran majuuu."

Pagelaran wayang kulit pun berlanjut, penonton kembali tenang karena sudah mulai perang. Mereka tak ada pedulinya sama sekali dengan urusan hakikat.

Ahmad Muhaimin
Tajeman, 10 Februari 2020
 
Top