Oleh: Sahabat Eko David [1]


Beberapa mingu terakhir pasca mengikuti acara Sekolah Kader Dakwah yang diadakan oleh Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Cabang Kota Malang sempat kaget bukan main karena pemateri dari Yogyakarta, Pak Sastro el-Ngatwi menyuguhkan paparan kebudayaan. Pasca refleksi ditengah malam dengan para sahabat, apa yang disuguhkan Pak sastro menjadi bahan sangat impresif untuk selalu diuji kelayakannya dari konten maupun relevansinya dengan aspek lainnya khususnya dalam hal ini masyarakat, tradisi, kebudayaan dan tokoh sentral –agamawan-. Lebih tepatnya bagaimana akulturasi budaya dilakukan Walisongo[2] atas keadaan sosial masyarakat saat itu. Bukan hal biasa tetapi harus diingat oleh generasi sekarang adalah etika dakwah walisongo yang santun dan mencerminkan kedalam ilmu maupun wawasan keislaman yang dimilikinya.

Kondisi seperti sangat kontras dengan masyarakat Nusantara[3] saat itu yang masih memeluk agama kapitayan, Hindu dan Budha. Kedatangan walisongo tidak melulu dengan teriakan takbir kemudia berbuat destruktif memaksa pada pemeluk agama lain untuk masuk Islam secara Kaffah, sejarah telah membuktikan bahwa walisongo datang dengan penuh ayoman luar biasa dari humanistiknya, pluralismenya dan sangat menghargai budaya maupun tradisi saat itu. Point-point inilah yang seyogyanya ditiru oleh para ustadh, da’i dan tokoh masyarakat lainnya untuk menyiarkan Islam yang penuh rahmat untuk semua ummat manusia.

Dalam diskusi yang berjalan selama kurang lebih 3.5 jam, pak Sastro el Ngatawi menawarkan satu pemahaman baru dalam membaca integrasi budaya masyarakat Nusantara saat itu dengan tradisi maupun nilai-nilai Islam Ahlussunnah Wal Jamaah, Culture Affinity. Salah satu konsep yang mengusung kolaborasi antara dua , tiga, sampai lima tradisi maupun kebudayaan untuk menjadi satu entitas kesatuan yang saling menguatkan dan tidak membuang satu tradisi yang lain. Analogi yang ditawarkan adalah tampar/tali. Sebuah tali akan semakin kuat dan kokoh ikatannya jika tergabung dari beberapa entitas tali dan menjadi satu. Begitulah analogi sederhana yang harus difahami secara holistik dan komprehensif. Bukan berarti kita kehilangan spirit islamnya, bukan. Karena dengan demikian, Islam akan semakin nampak serta mewarnai budaya lokal masyarakat kita di zaman dahulu saat era walisongo berdakwah.

Setelah beberapa abad kemudian, beberapa kelompok minoritas muncul dengan kedalaman intelektual yang dimiliki dengan sepaket surga dan kebenaran dalam perspektif dirinya. Tentunya ini katanya mereka bukan karena sisi keobjektifan dalam pengetahuan. Kelompok minoritas inilah yang lambat laun meronrong kedaulatan Indonesia dengan berbagai supremasi hukum maupun istilah agama guna mendukung aspirasi yang mereka perjuangkan. Dan tidak sedikit menggunakan sedikit kekerasan sebagai media dakwah yang tepat sehingga masyarakat atau orang yang diajak diancam kalau tidak mengikuti ajakannya. Tidak jarang langsung dibunuh karena tidak sepakat dengan gagasan yang ditawarkannya.  Bagi penulis, mereka kurang memahami –untuk tidak mengatakan anti maupun menafikan- sejarah atas perjuangan walisongo yang telah dulu mendahuluinya. Mungkin terlalu jauh berkiblat pada walisongo, kita dan generasi sekarang patut kiranya untuk mencermati bagaimana proses dialektika sengit antara pandangan kaum islamis, kaum nasionalis untuk merumuskan satu dasar negara, apakah indonesia berbentuk negara islam atau negara nasionalis, lantas, seperti apakah bangunan filosofis dasar negara tersebut ? dialektika dasar negara sudah akrab di sejarah nasional Indonesia.

Tetap saja. Negara islam harus didirikan dengan legitimasi interpretasi individu masing-masing. Oleh karenanya, penulis tidak menolak pendapat serta interpretasi demikian tetapi yang harus dijadikan prinsip adalah, apakah masyarakat pada umumnya sepakat dengan gagasan tersebut ? apakah juga masyarakat Muslim yang dalam hal ini memenuhi skala makro bisa dengan mudahnya mengamini konsep negara islam ? jawabannya pun sudah bisa ditebak bukan ?

Romantisme sejarah dan taklid buta pada dogma menjadi hal Urgent yang harus dipertimbangkan khususnya ketika sudah berbicara problematika agama dan negara. Relasi negara dengan masyarakat beragama dan hal lainnya. Tidak cukup dengan hanya duduk memberikan materi saja tetapi perlu gesekan pemikiran yang sangat keras hingga menghasilkan satu prodak baru yang disepakati oleh mayoritas maupun minoritas untuk dijadikan pijakan pergerakan masyarakat Indonesia.

Penulis kira, permasalahan yang tengah dihadapi oleh teman-teman kita sekarang adalah bobroknya negara Indonesia karena hanya melihat dari satu aspek saja. Mereka kurang memahami bahwa Indonesia dulu pada tahun 1940 an sudah sibuk mencari dasar negara malah sekarang dimunculkan lagi kasus tersebut. Bagi penulis, singkat saja, silahkan baca sejarah perumusan pancasila sebagai dasar negara untuk bisa memahami lebih komprehensif substansi dari masyarakat yang menjalankan syariat islam secara penuh, keniscayaan Islam mengatur negara, Etika Islam mengatur pemilihan umum dan sederet lainnya. Wallahu a’lam.

Eko David. 12 Rabiul awal 1436/ 03 Januari 2015. Rumah

[1] . Seseorang yang sedang hidup ditengah kebosanan ber-pengetahuan serta berjuang menumpas kebodohan di berbagai sektor kehidupan.

[2] . Bagi masyarakat muslim Indonesia, sebutan Wali Songo memiliki makna khusus yang dihubungkan dengan beberapa tokoh keramat di Jawa yang berperan penting dalam usaha penyebaran dan perkembangan Islam pada abad ke 15 dan ke 16 masehi. Menurut Solihin Salam dalam Sekitar Wali Songo, kata Wali Songo merupakan kata Majemuk yang berasal dari kata wali dan songo. Kata wali berasal dari bahasa Arab, suatu bentuk singkatan dari Waliyullah, yang berarti orang yang mencintai dan dicintai Allah. Sedangkan songo berasal dari Bahasa Jawa yang berarti sembilan. Jadi, walisongo berarti wali sembilan yakni sembilan orang yang mencintai dan dicintai Allah. Mereka dipandang sebagai ketua kelompok yang bertugas mengadakan dakwah Islam di daerah-daerah yang belum memeluk Islam di Jawa. Lihat. Agus Sunyoto. Atlas wali songo. Pustaka Iman, Trans Pustaka dan LTN PBNU. 2012. Jakarta; 109.

[3]. Data Geografis Nusantara. Menurut teori, Nusantara terletak di persimpangan tiga lempeng dunia yang potensial menimbulkan tekanan sangat besar pada lapisan kulit bumi. Akibat lapisan kulit bumi Nusantara-pertemuan tiga lempeng dunia- tertekan ke atas, hasilnya membentuk hamparan-hamparan luas dikenal sebagai paparan benua sunda dengan barisan gunung berapi dan pegunungan panjang yang pada masa purbakala disebut sebagai swetadwipa atau Lemuria. Hamparan luas paparan benua Sunda yang awalnya berupa dataran dangkal itu pada zaman es ketika permukaan laut turun ratusan meter terlihat mencuat ke permukaan. Oleh karena terletak di persimpangan tiga lempengan dunia, wilayah ini sering diguncang gempa bumi hebat dan letusan gunung berapi. Sedangkan Menurut peta yang dihasilkan iSoutheast Asia research Group di London, kepulauan Nusantara dulunya merupakan satu kesatuan dengan benua asia. Tetapi, daratannya yang rendah tenggelam ke dasar laut dan hanya gunung vulkanik dan daerah dataran tinggi bergunung-gunung yang tersisa menjadi pulau-pulau. Lihat. Agus Sunyoto. Atlas wali songo. Pustaka Iman, Trans Pustaka dan LTN PBNU. 2012. Jakarta; 04

By Eko Bhaskara - November 23, 2015

Tulisan ini sudah mendapatkan izin dari penulisnya. :)

 
Top